Rabu, 18 Juli 2012

Sumber Alelopati dalam Agroekosistem


Pada suatu agroekosistem, senyawa alelopati kemungkinan dapat dihasilkan oleh gulma, tanaman pangan, dan hortikultura (semusim), tanaman berkayu, residu dari tanaman dan gulma, serta mikroorganisme. Alelopati dari tanaman dan gulma dapat dikeluarkan dalam bentuk eksudat dari akar dan serbuk sari, luruhan organ (decomposition), senyawa yang menguap (volatile) dari daun, batang, dan akar, serta melalui pencucian (leaching) dari organ bagian luar (Reigosa et al. 2000; Qasem & Foy 2001).
Alelopati dari Gulma
Banyak spesies gulma menimbulkan kerugian dalam budi daya tanaman yang berakibat pada berkurangnya jumlah dan kualitas hasil panen. Rice (1984) mencatat 59 spesies gulma yang memiliki potensi alelopati. Inderjit dan Keating (1999) melaporkan hingga 112 spesies, bahkan Qasem dan Foy (2001) menambahkannya hingga 239 spesies. Selain itu, Qasem dan Foy (2001) mencatat 64 spesies gulma yang bersifat alelopati terhadap gulma lain, 25 spesies gulma yang bersifat autotoxic/autopathy, dan 51 spesies gulma aktif sebagai antifungi atau antibakteri. Jenis gulma yang memberikan pengaruh negatif alelopati pada tanaman berkontribusi pada berkurangnya jumlah dan kualitas panen tanaman melalui alelopati dan juga kompetisi sarana tumbuh.
Alelopati dari Tanaman Semusim
Alelopati dari tanaman budi daya dapat menimbulkan efek negatif pada tanaman budi daya yang lain maupun gulma (Rice 1995). Senyawa alelopati yang dikeluarkan tanaman dapat berdampak pada tanaman yang ditanam berikutnya bahkan juga bisa bersifat alelopati pada tanaman itu sendiri atau autotoxicity (Putnam & Weston 1986). Inderjit dan Keating (1999) melaporkan 41 spesies tanaman semusim mengeluarkan senyawa alelopati, termasuk padi, jagung, kedelai, buncis, dan ubi jalar. Batish et al. (2001) melaporkan 56 spesies tanaman semusim bersifat alelopati terhadap tanaman yang lain, 56 spesies tanaman semusim bersifat alelopati terhadap gulma, dan 31 spesies tanaman semusim bersifat autotoxic. Adanya senyawa alelopati dari tanaman dapat memberikan dampak yang baik jika senyawa alelopati tersebut menyebabkan penekanan terhadap pertumbuhan gulma, patogen, ataupun hama. Namun demikian, keadaan ini perlu mendapatkan perhatian sebagai pertimbangan pola pertanaman ganda dan menetapkan pola pergiliran tanaman.
Alelopati dari Tanaman Berkayu
Tanaman berkayu yang dilaporkan bersifat alelopati antara lain: Acasia spp., Albizzia lebbeck, Eucalyptus spp., Grewia optiva, Glirycidia sepium, Leucaena leucocephala, Moringa oleifera, Populus deltoides, Abies balsamea, Picea mariana, Pinus divaricata, P. recinosa, dan Thuja occidentalis (Rice 1995; Gill & Prasad 2000; Reigosa et al. 2000; Singh et al. 2001). Adanya senyawa alelopati dari tanaman berkayu dapat dimanfaatkan dalam pertanaman sistem wanatani (agroforestry) serta dalam pengendalian gulma, patogen, ataupun hama. Alelopati dalam sistem wanatani dapat dimanfaatkan dalam strategi pengurangan keragaman vegetasi di bawah tegakan.
Alelopati dari Residu Tanaman dan Gulma
Residu tanaman dan gulma dilaporkan menimbulkan efek alelopati pada spesies yang ditanam kemudian. Inderjit dan Keating (1999) melaporkan pengaruh alelopati dari residu tanaman jagung, buah persik (Prunus persica), gandum hitam (Secale cereale), gandum (Triticum aesticum), dan seledri (Apium graveolens). Chung et al. (2003) dan Jung et al. (2004) melaporkan pengaruh alelopati dari residu sekam, batang, dan daun padi. Hong et al. (2004) melaporkan pengaruh alelopati dari beberapa jenis tumbuhan yang dapat menekan pertumbuhan gulma sekaligus meningkatkan hasil tanaman padi. Adanya senyawa alelopati dari residu tumbuhan perlu menjadi pertimbangan dalam kegiatan persiapan tanam (pengolahan tanah), pengendalian gulma, dan penggunaan serasah sebagai mulsa organik. Residu gulma dan tanaman yang memiliki pengaruh negatif alelopati sebaiknya tidak dibiarkan terdekomposisi di areal pertanaman dan tidak dipergunakan sebagai mulsa organik.
Alelopati dari Mikroorganisme
Alelopati dari mikroorganisme telah dilaporkan sejak tahun 1951, yaitu identifikasi senyawa griseofulvin dari Penicillium griseofulvum yang menghambat pertumbuhan tanaman gandum. Beberapa galur Fusarium equiseti juga dilaporkan menghasilkan senyawa yang bersifat toksik terhadap tanaman kapri. Beberapa Rhizobacteria juga dilaporkan menyebabkan penghambatan perkecambahan benih, gangguan pertumbuhan akar dan menjadi peka terhadap serangan patogen pada tanaman target. Selain pengaruhnya pada tanaman, alelopati dari mikroorganisme juga dapat mempengaruhi mikroorganisme lain (Rice 1995). Pada pertanaman padi, inokulasi sianobakteri yang dimaksud untuk meningkatkan ketersediaan N, dilaporkan adanya potensi negatif alelopati dari senyawa metabolit sekunder yang dihasilkannya (Inderjit & Keating 1999). Bakteri Streptomyces sagononensis, S. hygroscopicus, dan Pseudomonas flourescens dilaporkan mengeluarkan senyawa alelopati yang menghambat pertumbuhan beberapa tanaman (Singh et al. 2001).
Alelopati dari Tepung Sari
Tepung sari dari gulma Parthenium hysterophorus, Agrotis stolonifora, Erigeron annuus, Melilotus alba, Phleum pretense, Vicia craca, dan Hieracium aurantiacum dilaporkan memiliki pengaruh alelopati. Tepung sari tanaman jagung juga dilaporkan memiliki pengaruh alelopati. Pengaruh alelopati tersebut dapat terjadi pada perkecambahan, pertumbuhan, maupun pembuahan dari spesies target (Inderjit & Keating 1999). Hal ini perlu mendapatkan perhatian karena alelopati dari tepung sari kemungkinan menjadi penyebab rendahnya pembuahan pada spesies tertentu.

Hutan Gambut

Hutan gambut adalah hutan yang tumbuh di atas kawasan yang digenangi air dalam keadaan asam dengan pH 3,5-4,0. Hutan gambut didefinisikan sebagai hutan yang terdapat pada daerah bergambut, daerah yang digenangi air tawar dalam keadaan asam dan di dalamnya terdapat penumpukan bahan-bahan tanaman yang telah mati (Indriyanto, 2005 dalam Indriyanto, 2010). Lahan gambut adalah lahan yang memiliki lapisan tanah kaya bahan organik (C-organik > 18%) dengan ketebalan 50 cm atau lebih.
Ekosistem gambut merupakan bagian terbesar dari kawasan lahan basah yang menyimpan kekayaan plasma nutfah yang mampu berkembang di dalam lingkungan yang amat terbatas dan merupakan cadangan bahan baku yang penting untuk mengembangkan tanaman dan hewan budi daya di daerah dengan lingkungan buruk (Mackinnon, 1994 dalam Dharmono, 2007). Ekosistem hutan gambut merupakan ekosistem yang cukup unik karena karena tumbuh di atas tumpukan bahan organik yang melimpah, akan tetapi tanah sangat miskin hara. Umumnya daerah gambut tergenangi oleh air tawar secara periodik dan lahannya memiliki topografi bergelombang kecil sehingga terdapat cekungan berisi genangan air (Indriyanto, 2005).
Semula para pakar tanah dari Eropa berpendapat bahwa gambut tidak akan ditemukan di daerah tropika yang mempunyai temperatur tinggi seperti di Indonesia, pendapat tersebut berdasar bahwa bahan organik dari tumbuhan akan cepat terdekomposisi oleh jasad renik dan tidak terlonggok di daerah beriklim panas. Akan tetapi dugaan tersebut ternyata salah, karena Bernelot Moens dan Van Vlaardingen pada tahun 1865 menemukan gambut di Karesidenan Besuki dan Rembang. Hasil ekspedisi Yzerman di Sumatra tahun 1895 juga melaporkan adanya gambut di daerah Siak, bahkan pada tahun 1794 John Andersen telah menyebutkan bahwa di Riau terdapat gambut (Soepraptohardjo dan Driessen, 1976 dalam Budianta, 2003). Kemudian baru pada tahun 1909 Potonie dan Kooders mengumumkan bahwa di Indonesia telah diketemukan gambut pada berbagai tempat (Wirjodihardjo dan Kong, 1950 dalam Budianta, 2003).

Flora dan Fauna
Jenis flora dan fauna di hutan gambut relatif terbatas. Di Kalimantan vegetasi khas dari hutan gambut terdiri dari assosiasi kayu ramin (Gonystylus spp). Di dalam assosiasi ini terdapat tiga lapisan tajuk:
  • tajuk atas terdiri dari kayu ramin (Gonystylus spp), Shorea albida, Shorea uliginosa, Tetramerista gabra, Durio sp., Ctelophon sp, Dyra sp, Palaqulum sp, Koompasia malacensisi;
  • tajuk tengah terdiri dari pepohonan yang termasuk familia Lauraceae seperti: Alseodaphae sp,, Endriandra rubescens, Litsea sp, Myristica inner, Horsfeldia sp, Garcinia sp, dan juga familia dari Euphorbiaceae, Myristicaceae dan Jbenaceae; dan
  • penutup tanah (tajuk yang paling bawah) terdiri dari familia Annonaceae, anakan-anakan dari pepohonan dan semak dari jenis Crinus sp.
Sedangkan fauna yang terdapat di hutan gambut yang mempunyai relung di pepohonan (arboreal), di daratan (terestrial) dan berelung di air. Berikut beberapa hewan hewan yang berada di masing-masing relung: 
  • yang berelung di pepohonan (arboreal) ialah lutung, siamang, kera ekor panjang, orang hutan, bekantan dsb.;
  • yang berelung di daratan (terestrial) ialah rusa, harimau, kancil dll.;
  • yang berelung di air ialah kura-kura/ labi-labi, buaya, ikan arwana, ikan tawes dll.;
berbagai burung migran dan jenis setempat juga dijumpai di pepohonan untuk mencari makan dan bersarang (Atmawidjaja, 1988 dalam Budianta, 2003).

Senin, 16 Juli 2012

Serak Jawa - Barn Owl


Serak Jawa atau dalam Bahasa Latinnya Tyto alba termasuk ke dalam famili Tytonidae. Dalam bahasa Inggris, Tyto alba dikenal sebagai Barn Owl. Kategori dan kriteria red list dari IUCN, Tyto alba tergolong Least Concern (LC), taksa ini tersebar luas hampir di seluruh dunia, sedangkan menurut MacKinnon et al., (2010)  sebaran di Indonesia diketahui tidak umum di dataran rendah Sumatra, Jawa, Bali, sampai ketinggian 800 m. Keberadaannya di Kalimantan tidak tercatat namun ada kemungkinan terdapat di Kalimantan Selatan.
            Serak Jawa mudah dikenali sebagai burung hantu putih, aktif di malam hari. Ciri khasnya adalah matanya yang besar. Burung malam pemangsa dan suaranya yang angker. Muka berwarna putih berbentuk hati dan lebar dengan mata gelap (MacKinnon et al., 2010).

To be continued ...